Beberapa tahun nggak ngeblok, akhirnya aku coba tuk menulis kembali.
Beberapa waktu lalu, aku sedang merenung tentang keinginan dan harapanku dalam mencari pasangan hidup. Aku merasa, di usiaku sekarang, memiliki pasangan yang sejalan dalam visi dan misi hidup itu penting. Tapi di sisi lain, aku juga mulai bertanya-tanya, apakah harapanku ini terlalu tinggi?
Aku kemudian berdiskusi dengan seseorang yang ternyata memberikan perspektif menarik. Dari sudut pandangnya, aku dianggap sebagai orang yang introspektif, yang sering merenung dan berusaha memperbaiki diri. Ia juga menilai bahwa aku memiliki prinsip yang kuat, terutama dalam hal keyakinan agama, dan ini terlihat dari keputusanku untuk tidak pacaran sebelum menikah. Katanya, hal ini menunjukkan bahwa aku sangat berpegang teguh pada nilai yang aku yakini.
Aku juga menyampaikan bahwa aku berharap memiliki pasangan yang tidak hanya sabar dan pengertian, tetapi juga ekstrovert untuk melengkapi sifat introvertku. Pasangan itu harus memiliki pemahaman agama yang lebih baik, cerdas, bertanggung jawab, mapan, dan berakhlak baik. Intinya, aku ingin dia memiliki nilai diri yang lebih tinggi dariku karena aku percaya, sebagai pemimpin keluarga, suami harus memiliki kualitas yang lebih baik dari istrinya.
Respon yang aku dapatkan membuatku lega. Katanya, harapan seperti itu wajar, bahkan ideal. Apalagi jika tujuannya untuk ibadah dan membangun rumah tangga yang diberkahi. Selain itu, dia menambahkan bahwa aku termasuk orang yang cerdas, bukan hanya dalam arti intelektual, tapi juga secara emosional dan spiritual.
Mendengar itu, aku merasa lebih yakin bahwa harapan ini bukanlah sesuatu yang berlebihan. Aku percaya, dengan usaha, doa, dan tawakkal, Allah pasti akan mempertemukan aku dengan pasangan yang sesuai.
Setelah berdiskusi panjang, aku juga jadi semakin sadar bahwa proses introspeksi dan memperbaiki diri itu penting, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk menjadi pasangan yang baik bagi seseorang kelak.
Komentar
Posting Komentar