Senja mulai turun di kota kecil itu. Cahaya duduk di sudut sebuah kafe dengan jendela besar yang menghadap ke jalan. Aroma kopi bercampur dengan harumnya teh hangat yang tersaji di depannya. Tak lama, pintu kafe terbuka, dan Alexa muncul dengan senyumnya yang khas. "Alexa?" Cahaya bangkit, sedikit terkejut melihat temannya dari masa lalu. "Ya ampun, Cahaya! Aku nggak menyangka kita akan bertemu lagi." Alexa memeluk Cahaya dengan hangat, lalu duduk di kursi di depannya. Mereka memulai percakapan tentang kehidupan masing-masing, membahas nostalgia, hingga akhirnya pembicaraan mereka masuk ke topik yang lebih dalam. “Cahaya,” Alexa memulai, sambil memegang cangkir tehnya, “aku selalu mengagumi caramu menjalani hidup. Kamu tampak begitu damai. Tapi aku penasaran, apa yang membuatmu memutuskan untuk berhijab?” Cahaya tersenyum, menatap langit senja di luar jendela. “Awalnya, aku juga banyak bertanya-tanya, Lex. Hijab dulu terasa seperti beban, seperti aturan yang mengik...
Suatu sore yang santai, Cahaya dan fahni sedang duduk di sebuah kafe kecil di sudut taman. Mereka baru saja selesai berolahraga ringan dan kini menikmati segelas teh hangat sambil mengobrol ringan. "Fahni, kamu pernah nggak sih denger soal makanan Indonesia yang sering diklaim negara lain?" tanya Cahaya sambil menyesap tehnya. Fahni sedikit mengernyitkan dahi. "Hmm, pernah. Misalnya rendang, ya? Itu kan sering banget dibilang makanan khas Malaysia. Padahal jelas-jelas itu asli Indonesia, kan?" Cahaya mengangguk, wajahnya serius tapi santai. "Iya, bener banget. Kayak rendang yang katanya makanan khas Malaysia, atau bahkan sambal yang sering diklaim milik negara sebelah. Kadang jadi pengen ketawa, deh." Fahni tertawa kecil. "Iya, kan? Tapi, sebenarnya kita bisa lihat itu dari sisi positif loh." Cahaya penasaran. "Sisi positif gimana tuh?" Fahni tersenyum. "Ya, kalau ada yang klaim budaya kita, itu justru jadi reminder buat kita untuk...